Beranda | Artikel
Tradisi Pecah Kendi di Acara Peresmian
Rabu, 28 April 2021

Tradisi Pecah Kendi di Acara Peresmian

Mohon pencerahan mengenai tradisi pecah kendi ketika melepas jamaah haji.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terkait pecah kendi, kita sepakat ini berangkat dari budaya. Islam sama sekali tidak pernah mengajarkannya, baik dalam bentuk dalil tegas maupun isyarat.

Selanjutnya kita akan bicara masalah budaya.

Dalam melakukan sebuah budaya, ada dua motivasi yang menjadi pertimbangan bagi pelakunya,

[1] Karena disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan dan selera masyarakat.

Seperti budaya pakaian, jenis makanan, bentuk tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan seterusnya.

Melakukan kegiatan budaya semacam ini, pada asalnya tidak dilarang selama tidak melanggar syariat.

Sebagaimana dinyatakan dalam hadis,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kalian lebih paham tentang urusan dunia kalian.” (HR. Muslim 6277)

Dan seperti yang kita maklumi, sebab keberadaan hadis ini berkaitan dengan masalah pekerjaan. Di mana para sahabat asli Madinah, mereka mengkawinkan kurma, yang itu membutuhkan banyak effort dalam melakukannya. Karena petani harus naik ke kurma jantan, ambil benang sari, lalu turun, kemudian naik lagi ke pohon kurma betina, untuk menaruhnya di putik.

Melihat ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aslinya penduduk Mekah merasa terheran, dan menurut beliau itu tindakan yang terlalu banyak buang-buang tenaga. Sehingga beliau sarankan kepada mereka untuk dibiarkan saja, jika memang sudah ditaqdirkan berbuah, pasti akan berbuah.

Walhasil, di tahun itu, banyak kurma gagal berbuah. Dari situlah, beliau menyatakan bahwa urusan dunia, masyarakat lebih paham.

Budaya semacam ini sangat mungkin mengalami perubahan seiring dengan perkembangan interaksi masyarakat dan asimilasi budaya diantara mereka.

[2] Karena dorongan keyakinan tertentu.

Kita menyebutnya dengan filosofi budaya. Lalu dianggap sebagai bagian dari kearifan lokal.

Mengingat berangkat dari filosofi budaya, masing-masing daerah bisa jadi berbeda-beda, tergantung budaya masing-masing.

Pamali yang berlaku di Jogja, berbeda dengan pamali yang berlaku di Sumatra, berbeda pula dengan yang berlaku di Papua atau Lombok.

Demikian pula yang kaitannya dengan sebab keberuntungan. Di Solo, sebab keberuntungan adalah kerbau. Di Papua, sebab keberuntungan adalah babi. Dan mungkin akan berbeda dengan sebab keberuntungan yang berlaku di Lombok ataupun Bali.

Itulah efek dari keberadaan mitos mereka yang berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.

Dan umumnya budaya semacam ini tidak mengalami perubahan. Dari dulu sampai sekarang, sama.

Sekalipun orang menyebut zaman IT, masyarakat sudah modern, budaya dengan latar belakang mitos ini, protap-nya tetap sama.

Yang menjadi persoalan adalah budaya semacam ini seringnya dikait-kaitkan dengan takdir, baik berupa keberuntungan maupun kecelakaan.

Di masyarakat Jogja misalnya, mengadakan hajatan saat bulan Suro (Muharram) adalah sumber ciloko (kecelakaan). Sehingga dijadikan pantangan. Rumah menghadap ke utara dianggap lambang keberkahan, dan seterusnya. Pecah kendi dianggap mendatangkan rizki, dan seterusnya.

Padahal bagi seorang muslim, kita meyakini bahwa takdir adalah ketetapan Allah, di mana tidak ada satupun makhluk yang tahu. Sehingga ketika takdir itu dikaitkan dengan budaya tertentu, kita bisa sebut, ini seperti nekad meraba ‘perbuatan Allah’ dengan aktivitas makhluk-Nya.

Dari mana anda tahu melakukan hajatan saat bulan Muharram adalah sumber musibah?

Dari mana anda tahu saat melepas merpati lalu terbang lurus adalah tanda berkah?

Dari mana anda tahu pecah kendi akan membuka pintu rizki?

Karena itulah, melestarikan budaya semacam ini tidak diperkenankan dalam Islam. Dalam kajian aqidah, ini disebut tiyaroh, meyakini keberuntungan dan kesialan disebabkan kejadian tertentu.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الطِّيَرَةُ شِركٌ ، الطِّيَرَةُ شِركٌ ، الطِّيَرَةُ شِركٌ ، وما منا إلا ، ولكنَّ اللهَ يُذهِبُه بالتَّوَكُّلِ

“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan.”

Kata Ibnu Mas’ud, “dan setiap kita pasti pernah mengalaminya. Namun Allah hilangkan itu dengan memberikan tawakkal (dalam hati)” (HR. Abu Daud no. 3910).

Sebab Musibah adalah Durhaka

Bukan berarti tidak ada sebab musibah. Islam juga mengajarkan adanya sebab musibah bagi manusia, yaitu durhaka kepada Sang Pencipta. Sebaliknya sebab keberuntungan adalah ketaatan kepada Sang Pencipta.

Dari mana anda tahu hal ini?

Al-Quran yang menyebutkan itu.

Allah berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. as-Syuro: 30)

Mengenai sebab keberuntungan, Allah berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. al-A’raf: 96)

Demikian, semoga bermanfaat…

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/36906-tradisi-pecah-kendi-di-acara-peresmian.html